TAN MALAKA
JALAN SUNYI TAMU DARI BAYAH
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Ilyah Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Disana ada Chaerul Saleh, B.M Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya orang biasa-meski ia tak berani bertanya. "Ia heran, bagaimana mungkin orang sekaliber Hussein hidup diwilayah terpencil, "kata sejarawan Belanda Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. "Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang, "Kata Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba. Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke rumah Maruto Nitimiharjo di Jalan Bogor lama-sekarang jalan Saharjo Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu malam. Hussein tidur dikamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide Hussein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan ditunda, " kata Adam Malik. Para Pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih pensaran pada Hussein. Tapi lagi-lgi ia ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau pulang. "Ia berpesan gara Hussein mempersiapkan pemuda Banten menyongsong proklamasi,"Kata Anwar Bey.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung, Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. "Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat. "katanya dalam memoar Dari Penjara Ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
Hussein kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal. Kali ini yang dituju rumah B.M Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran ynag terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu jam Diah memberikan infomasi, Hussein menyatakan pendapatnya. "Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda, "katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Disana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam itu di gelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrjf Bandoengen Omstreken-Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora "Kita bukan kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus di rebut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah". Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam bukunya Verguisd en Vergeten Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. "Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu, "kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan jawaban tegas: "Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya".
Hussein di ututs kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Shaleh. Peserta rapat mengantarkannya ke Stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
***
Situasi Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang mengintai di mana-mana. Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemuda bingung siapa sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama dalam hidup pelarian, Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada tanggal 14 Agustus sore. Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis oeuda menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata jepang. "Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan", kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Hussein tak lain Tan Malaka. Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak lama menunjukkan orang-orang pergerakan. "Diantaranya foto Tan Malaka waktu masih muda, "kata Khalid Poeze menyangsikan hal itu. Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di jalan Pegangsaan Barat 30, tapi Chaerul tidak ada dirumah karena di sepanjang jalan santer terdengar kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di perkarangan rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa Militer Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republik Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukskan peristiwa itu sebagai "kepedihan riwayat". Sukarni bertahun-tahun membaca buku politik Tan. Tapi pada saat itu ia membutuhkan pikiran dari orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein sesungguhnya. "Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata", kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di Belanda apada tahun 1919. "Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin berjumpa", kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. "Wah, kau Tan Malaka", katanya. "Saya kira sudah mati". Tan menjawab sambil tertawa. "alang-alang tak akan musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya". Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga dipertemukan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di didepan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politk, gerakan massa, hingga propaganda.
Nishijia terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam", katanya. Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa kawannya ini tak lai Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu menjabat tangan lebih erat.
Kepada Tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan. Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di jalan Theresia. Ia sempat ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampek, 18 kilometer sebelah barat Bogor. Sejak itu bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. mereka melihat pemerintah tidak bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan', kata Adam malik. "Seperti tidak ada rencana".
itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demostrasi. Tapi sebagian lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan Perang. pemuda yangberkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang jalan Kwitang, terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju menteng 31. "Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie', kata Sukarni mengutip buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk Komite van Actie. Komite ini mengambil sarana transportasi dan mengibarkan bendera Merah-Putih, dimana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebarjo-saat itu sudah Menteri Luar Negeri-meminta nasihat Tan yanglalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. "Tan ikut mengusulkan kata-katanya", Hardidjojo Nitimihardjo, putra Maruto. Semboyan itu ditulis pemuda di tembok-ditembok, mobil, dan kereta api hingga tersebebar ke luar Jakarta, dibuat dalam bahasa Indoensia dan Inggris agar menarik perhatan dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik. Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro".
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya di Menteng 31. Tan saat itu tinggal dirumah Pak Karim, tukang jahit di Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil bertemu, tapi ragu identitas Tan. "Apalagi saat itu banyak muncul Tan Malaka palsu", kata hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro-kenalan Tan di Semarang pada 1992-beberapa hari kemudian Sesudah itu mereka membawa guru Halim, teman sekolah tan di Bukittinggi. Tan Juga di cecar soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi buku tersebut.
Maruto behkan menyrankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah mendengar kata-kata Tan kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu anti-fasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. "Ia mengusulkan demonstrasi yang lebih besar', kata Hadidjojo. Demontrasi digelar untuk mnegukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda menggelar rapat akbar di lapangan Ikada. "Tan berada di balik layar". Kata Poeze.
pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan rovolusioner. Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung anatara 8 dan 15 September 1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu, Pandu kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan. Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk mengoganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September-tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya. "Bung Karno marah kepada pemuda karena pemuda menggelar pawai di Taman Matraman pakai obor dua hari setelah proklamasi', kata Hadidjodjo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana, Sukarni keluar-masuk kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai, agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga. Tapie presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus berdatangan. Jumlahnya diperkirakan 200 ribu. Di bawah terik, mereka menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananda Toer. "Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi pada Dai Nippon", kata Pram, saat itu berusia 20 tahun.
Sementra sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagian menteri setuju hadir di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat berjalan alot. Pukul empat asore, Soekarno memutuskan datang menentramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. "Saya tidak akan memaksa. Menteri yang mau tinggal dirumah silahkan", Katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan Malaka ikut dalam rombongan. "Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan berdampingan dengan Soekarno menuju podium", kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit suaranya lunak. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang. "Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sumber :
Buku Tan Malaka Bapak Republik Yang dilupakan Seri buku saku tempo Hal. 14 - 26
#Soekarno #Hatta #Proklamasi #RI #Indonesia #Sukarni #Jepang #Hussein #Tan #Sjahrir #Wongsonegoro #Hadidjojo #Menteng #Belanda #Malaka #sejarah #Soebarjo #Inggris #demonstrasi #matraman #Jakarta #Soerabaya #PKI #Jakarta
No comments
Post a Comment