Daerah Cirebon pun sampai dikuasai oleh kaum muslimin dibawah pimpinan Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan (Sunan) Jati. Hal yang membuat Sri Baduga miris adalah sepak terjang Kesultanan Demak yang agresif dan pada waktu itu telah menundukkan Majapahit yang dikenal cukup tangguh.
Perjanjian
Pajajaran dengan
Portugis sangat mencemaskan
Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan
Demak III. Selat
Malaka, pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara sudah dikuasai
Portugis yang berkedudukan di
Malaka dan
Pasai. Apabila selat
Sunda yang menjadi pintu masuk perairan
Nusantra sebelah selatan juga dikuasai
Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi
Demak terancam terputus (W. Fruin Mees,
Geschidenis van Java).
Trenggana segera mengirim armadanya dibawah pimpinan
Fatahillah, sasaran utamanya adalah
Banten pintu masuk
Selat Sunda. Dalam
Carita Parahiyangan Pasukan Kesultanan
Demak berhasil menguasai
Sunda Kalapa yang didukung oleh penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah, yang telah wafat lebih dikenal dengan
Sunan Gunung Djati, setelah mengalahkan penguasa
Kalapa, Ratu Sangiang (adik Surawesesa).
Pada 1527 datanglah pasukan
Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa. Bantuan Portugis ini datang terlambat karena Fransisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di
India. Orang
Portugis tidak mengetahui jika Suna Kalapa sudah dikuasai oleh Fatahillah. Pasukan Portugis turun dengan sekoci-sekocinya untuk merapat kepelabuhan sunda Kalapa dengan sekoci-sekoci.
Setelah merapat, mereka disergap oleh Fatahillah dan pasukannya. Namun, Fransisco de Sa berhasil melarikan diri karena dia tidak ikut turun bersama pasukannya. Setelah dikuasai sepenuhnya oleh Fatahillah, nama Sunda Kalapa diganti menjadi
Jayakarta yang mengandung arti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. ada juga yang menulis atau menggunakan Jayakarta atau Jakarta, kemudian umum disebut Jakarta.
Mengenai penggantian nama
Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hingga kini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Dr. P. A. Hosein Djajadiningrat. Menurut r. Soekanto,
Fatahillah merebut Sunda Kalapa pada akhir Februari 1527. Beberapa hari kemudian datang armada
Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa yang bermaksud membangun benteng di
Sunda Kalapa. Armada ini digempur oleh Fatahillah kira-kira pada pertengahan Maret 1527.
Dengan tercapainya kemenangan itu, maka setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdasarkan penanggalan
pranatamangsa (penanggalan yang hidup dikalangan rakyat dan berhubungan dengan pertanian), Fatahillah mungkin sekali memilih tanggal 1 prantamangsa sebagai hari untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan nama
Jayakarta. Tanggal 1 pranatamangsa tersebut menurut penanggalan Masehi jatuh pada 22 Juni 1527. Seperti yang sudah dikemukakan diatas, arti Jayakarta adalah kemenangan penuh Fatahillah terhadap orang-orang Portugis, musuh yang sangat dibenci oleh orang Islam pada masa itu.
Sanggahan terhadap pendapat Dr. Soekanto dikemukakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Menurutnya, berdasarkan sumber dari penulis sejarah bangsa Eropa, armada Fransisco de Sa berangkat dari
Malaka menuju
Sunda Kalapa pada 23 Oktober 1526. Pada Desember 1526 ketika perayaan Natal di Cochhij (India), diperoleh kabar bahwa rombongan itu telah kembali pada akhir Desember 1526, Fransisco de Sa bertolak ke India.
Berdasarkan hal tersebut, Prof. Hoesein Djadiningrat berpendapat jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada Desember 1526. Jika jatuhnya
Sunda Kalapa ke tangan
Fatahillah bertepatan dengan hari raya atau hari peringatan Islam, maka dapat diduga bahwa hari raya Islam yang paling dekat di akhir Desember 1526 adalah Hari Maulud 12 Rabiulawal 933 Hijriah yang jatuh pada senin, 17 Desember 1526.
Besar kemungkinan
Fatahillah merenungkan kemenangannya, ia teringat kepada kemenangan Muhammad yang terpenting, yaitu merebut Kota Makkah dan teringat pula kepada ayat pertama dari surat Al-Fath yang berbunyi "Inna Fatahna laka Fathan Mubinan" (sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas).
Oleh Karena itu,
fatahillah lalu mendapat ilham untuk menamai dirinya fathan (nama ini kemudian karenan salah dengar dan salah tulis, dijadikan falatehan oleh orang
Portugis), sedangkan nama
Sunda Kalapa lalu diganti dengan terjemahan kata
Fathan mubinan yaitu,
Jayakarta. Demikian dua pendapat mengenai penamaan dan penanggalan digantinya nama
Sunda kalapa menjadi
Jayakarta.
Batavia
Nama
Jayakarta yang mengandung arti kejayaan dan kesejahteraan itu rupanya tidak memberi kenyataan seperti ketika
Sunda Kalapa terkenal sebagai kota Pelabuhan yang ramai disinggahi kapa-kapal niaga, baik antarpulau maupun Internasional. Setelah dinamai
Jayakarta justru pamornya semakin lama semakin kalah dengan Pelabuhan
Banten.
Selama puluhan tahun pelabuhan
Jayakarta lebih banyak dikenal sebagai pelabuhan nelayan dan jarang sekali disinggahi kapal niaga. Padahal beberapa komoditasnya, seperti beras, sayur mayur, buah-buahan, dan hewan ternak melimpah, harga murah, sebagaimana diberitakan oelh Jan Huygen van Linscehoten[1 ] dalam
Itinerario.
Jayakarta adalah bagian wilayah Kesultanan
Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin menganggkat menantunya, Tubagus Angke, sebagai penguasa Jayakarta. Pada 1601, Tubagus
Angke wafat. Jabatannya sebagai penguasa Jayakarta diteruskan oleh putranya, Pangeran
Jayakarta Wijayakrama yang lebih dikenal sebagai Pangeran Jayakarta
atau Pangeran
Jakarta.
Sebagaki kepala daerah yang berjiawa muda, Pangeran Jayakarta Wijayakrama jauh lebih berani mengambil keputusan dan tindakan dibandingkan dengan ayahnya untuk kemajuan
Jayakarta. Dia berani membuat persetujuan dengan persukuan dagang asing. Mula-mula dengan orang-orang Inggris, kemudian dengan orang-orang Belanda.
Ceritanya selanjutnya adalah jatuhnya
Jayakarta ke tangan VOC dan namaya kemudian diganti menjadi Batavia. Nama-nama tempat dan jalan yang diberikan akan ditetapkan pada zaman kolonial, dari masa pemerintahan
VOC sampai masa awal pemerintahan kolonial Hindia Belanda, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama, nama-nama tempat dan jalan yang berasal dari bahsa
Belanda, seperti
Batavia sebagai nama kota dan
Oranje Boulevaard (sekarang jalan Dipenegoro) sebagai nama jalan.
Kedua, nama-nama tempat yang berasal dari bahasa Pribumi, contohnya
Cililitan,
Marunda, dan
Menteng.
Jakarta
Pada masa pendudukan tentara
Jepang, nama
Jakarta dihidupkan kembali. Hal itu diumumkan dan
Kang Po (Berita pemerintah bala tentara Jepang) No. 9 thn. I bulan 12 tanggal 8 Desember 1942 untuk waktu yang tidak terbatas.
Sumber:
[1] Jan Huygen van Linschehoten adalah pelau Belanda pertama yang mengetahui rahasia rute pelayaran orang-orang Portugis ke Asia Timur (diketik dari buku "ASAL USUL NAMA TEMPAT di JAKARTA dengan penulis Rachmat Ruchiat")