Thursday 8 November 2018

NAMA-NAMA TEMPAT DARI MASA KEMASA BAGIAN I

NAMA- NAMA TEMPAT DARI MASA KEMASA (diketik pada tanggal 4 November 2018) Nama-nama tempat dan jalan diwilayah Jakarta dan sekitarny... thumbnail 1 summary
NAMA- NAMA TEMPAT DARI MASA KEMASA
(diketik pada tanggal 4 November 2018)

Nama-nama tempat dan jalan diwilayah Jakarta dan sekitarnya yang sudah ada pada masa prakolonial ditemukan dalam dua naskah lontar, yaitu Bujangga Manik dan Carita Parahyangan. Selain itu, ditemukan pula pada laporan perjalanan pasukan perintis VOC, seperti laporan F.H Mullen (1657), Abrecht Herport (1662), Willem Hartsinet (1678), adolf Winkler (1690) yang tercatat dalam catatan harian (dagregister) di Kastil Batavia dan sumber-sumber tertulis lainnya.

Pada masa kolonial nama tempat atau jalan banyak yang berbahasa Belanda. Terutama pada awal orang-orang Belanda membangun kota Batavia. Selanjutnya mereka tidak begitu saja memberikan nama kawasan atau jalan. Nama-nama kawasan atau jalan yang sudah dinamai oleh masyarakat sekitar akan diperahankan oleh mereka. Sedangkan nama kawasan atau jalan yang tidak memiliki nama, maka akan diberi nama oleh mereka.

Belanda tidak mengerti nama yag sudah dikenal di masyarakat, mereka mengikuti saja nama yang sudah ada kemudian ditambahkan dengan kosakata bahasa Belanda seperti gang (jalan kecil), weg (jalan), (jalan yang dikanan kirinya terdapat pohon), straat (jalan yang dikanan kirinya terdapat toko-toko dan rumah-rumah), dan boulevard (jalan besar di antara rumah-rumah mewah atau kawasan elite).

Kota Batavia yang sekarang menjadi Kota Tua Jakarta, dibangun layaknya kota Belanda dengan kanal-kanal sebagai ciri khasnya. Misalnya saja Jalan Kali Besar Timur I yang kita kenal sekarang, pada zaman dulu Belanda menamakannya Amsterdamstraat  karena jalan tersebut merupakan jalan elite yang terdapat rumah-rumah mewah. Beberapa nama jalan diambil dari nama yang ada di Amsterdam. Contohnya, Jalan Lodan Raya sekarang, dulu dinamakan Heerenstraat (nama jalan yang ada di Amsterdam).

Nama tempat atau jalan yag berbahasa Belanda, setelah Indonesia merdeka hampir semuanya diganti dengan nama lokal. Sebagai contoh, Bacherachtsgracht yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Pangeran Tubagus Angke. Sebagaimana diketahui, gracht merupakan bahasa Belanda yang berarti saluran atau kana. Saluran tersebut dibangun oleh pemilik hal guna usahanya, Jacob Bacheracht, mantan pegawai tinggi VOC di Batavia.

Setelah dia meninggal, saluran itu rupanya terbengkalai dan dipenuhi endapan lumpur. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, saluran itu ditimbun dan dijadikan jalan. Sekarang jalan tersebut menghubungkan Jalan Perniagaan dikawasan Kota Tua Jakarta dengan Jalan Daan Mogot di barat dayanya dan merupakan bagian dari wilayah kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Nama jalan tersebut diambil dari sebutan bagi yang menjadi penguasa Jakarta dan sekitarnya dari tahun 1552 sampai wafatnya pada 1601, yaitu Pangeran Tubagus Angke.

Selain itu, ada juga nama tempat atau jalan berbahasa Belanda yang dilafalkan dengan Bahasa lokal, seperti Pluit (dari kata Fluit), Japat (dari kata Jaagpad), dan Jalan Pinangsia (dari kata Financienstraat). Ada juga nama tempat yang berasal dari bahasa Belanda, kemudian pada zaman sekarang atu pada masa kemerdekaan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, seperti  Jalan Percetakan Negara (dari kata Drukkerrijweg yang memiliki arti 'percetakan').

Berbeda halnya dengan kawasan atau jalan disebagian daerah Menteng. Pada awal abad ke-20 dinamai dengan nama-nama pulau, gunung, kota, dan sungai di Indonesia. Tiak ahanya nama tempat yang diterjemahkan atau sudah menjadi bagian dari bahasa lokal, setelah Indonesia merdeka pada umumnya tempat atau jalan berbahasa Belanda diganti dengan nama pahlawan atau tokoh nasional.

Sebagai contoh, salah satu jala elite di kawasan Menteng diberi nama Heutsz boulevard. Nama tersebut guna mengabdikan nama Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutsz, yang berhasil menaklukan Aceh. Setelah Indonesia merdeka, van Heutsz boulevard diganti dengan nama pahlawan Aceh sendiri, yaitu Teuku Umar dan Cut Meutia.

Teuku Umar adalah salah satu pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak 1873 hingga 1899. Pada 1893 ia terkenal dengan strateginya berpura-pura menjadi antek (kakitangan) Belanda untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda.

Sedangkan Cut Meutia adalah pahlawan nasional yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya. Wanita kelahiran Perlak, Aceh tahun 1870 ini, hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan bersedia tunduk kepada pemerintah kolonial.

Pada zaman dulu, simpangan dari Jalan Matraman Raya menuju jalan Manggarai adalah sebuah gang yang dikanan kirinya banyak ditumbuhi pohon kelor sehingga masyarakat sekitar mennyebutnya gang kelor. Kemudia pada awal abad ke 20, gang itu diperbesar menjadi sebuah jalan bergengsi yang dikanan kirinya dibangun gedung-gedung, dan diubah namanya menjadi Princes Julianalaan. 

Pemberian nama itu sebagai penghormatan Juliana diangkat sebagai Putri Mahkota Kerajaan Belanda. Pada 1948 ia dinobatkan menjadi Ratu Belanda. Sekitar setahun berselang tepat pada 27 Desember 1949, Ratu Juliana dengan resmi menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta. 

Setelah Indonesia merdeka, jalan itu diubah menjadi Jalan Slamet Riyadi. Nama lengkap tokoh pahlawan ini adalah. Ignatius Slamet Rijadi, salah seorang pahlawan nasional yang gugur di Maluku dalam pertempuran dengan kelompok separatis Republik di Maluku Selata yang dipimpin Dr. Soumokil. Tokoh ini lair di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927.

Karier dalam bidang militer dimulai dari zaman Jepang sebagai siswa Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Pada awal kemerdekaan memimpin perebutan senjata di Solo termasuk dengan Kempetei (Polisi Militer Jepang). menjadi Komandan Batalyon Resimen I Divisi X yang ikut aktif dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun.

Setelah Agresi Militer Belanda II, Slamet Riyadi bergerilya di sekitar Solo. Penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia dilaksanakan bersamaan waktunya dengan di Amsterdam, Jakarta, dan lainnya. Pada tanggal 27 Desember 1949, Slamet Riyadi mewakili militer Indonesia untuk menerima penyerahan kekuatan militer Belanda di Solo, Jawa tengah.

 


Sumber :
Dari Buku ASAL-USUL NAMA TEMPAT di JAKARTA dengan penulis buku Rachmat Ruchiat

Sunday 4 November 2018

SEKILAS RIWAYAT DARI KALAPA SAMPAI JAKARTA BAGIAN 2

Jayakarta Raja Sunda Pajajaran pada masa itu, Sri Baduga Maharaja , tidak resah mengetahui agama Islam merembes masuk ke wilayah kera... thumbnail 1 summary
Jayakarta

Raja Sunda Pajajaran pada masa itu, Sri Baduga Maharaja, tidak resah mengetahui agama Islam merembes masuk ke wilayah kerajaannya karena tampak berlangsung secara damai tanpa kekerasan senjata. Bahkan menurut ceirta, ada beberapa keluarga istana yang memeluk agama Islam, seperti Kean Santan yang berguru pada Syekh Quro didataran Karawang sekarang.

Daerah Cirebon pun sampai dikuasai oleh kaum muslimin dibawah pimpinan Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan (Sunan) Jati. Hal yang membuat Sri Baduga miris adalah sepak terjang Kesultanan Demak yang agresif dan pada waktu itu telah menundukkan Majapahit yang dikenal cukup tangguh.

Selain itu, hubungan Demak dan Cirebon semakin kukuh berkat perkawinan putra-putri dari kedua belah pihak. Persekutuan Demak dan Cirebon ini mencemaskan Sri Baduga yang kemudian mengutus putra mahkota, Surawisesa, agar mengupayakan hubungan diplomatik dengan orang-orang Portugis di Malaka yang telah menguasai Malaka dibawah pimpinan Alfonso d'Albuquerque. Sebaliknya, upaya Pajajaran ini justru mencemaskan pihak Demak.

Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun dan kemudian digantikan oleh Surawisesa. Baik sumber Portugis maupun Nagara Kretabhumi mengisahkan bahwa ia pernah diutus ayahnya untuk menghubungi Alfonso d'Alberquerque di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali, yaitu tahun 1512 dan 1521. Hasil kunjungan pertama ialah kunjungan penjajakan pihak Portugis dan hasil kunjungan kedua ialah kedatangan utusan Portugis ke Pakuan. Perutusan ini dipimpin oleh Hendrik de Leme, ipar Alfonso. Dalam kunjungan tersebut telah tercapai persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan serta keamanan.

Selain itu, dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Pajajaran. Kemudian saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kira-kira seberat 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Apabila selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantra sebelah selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam terputus (W. Fruin Mees, Geschidenis van Java).

Trenggana segera mengirim armadanya dibawah pimpinan Fatahillah, sasaran utamanya adalah Banten pintu masuk Selat Sunda. Dalam Carita Parahiyangan Pasukan Kesultanan Demak berhasil menguasai Sunda Kalapa yang didukung oleh penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah, yang telah wafat lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati, setelah mengalahkan penguasa Kalapa, Ratu Sangiang (adik Surawesesa).

Pada 1527 datanglah pasukan Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa. Bantuan Portugis ini datang terlambat karena Fransisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Orang Portugis tidak mengetahui jika Suna Kalapa sudah dikuasai oleh Fatahillah. Pasukan Portugis turun dengan sekoci-sekocinya untuk merapat kepelabuhan sunda Kalapa dengan sekoci-sekoci.

Setelah merapat, mereka disergap oleh Fatahillah dan pasukannya. Namun, Fransisco de Sa berhasil melarikan diri karena dia tidak ikut turun bersama pasukannya. Setelah dikuasai sepenuhnya oleh Fatahillah, nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta yang mengandung arti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. ada juga yang menulis atau menggunakan Jayakarta atau Jakarta, kemudian umum disebut Jakarta.

Mengenai penggantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta hingga kini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Dr. P. A. Hosein Djajadiningrat. Menurut r. Soekanto, Fatahillah merebut Sunda Kalapa pada akhir Februari 1527. Beberapa hari kemudian datang armada Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa yang bermaksud membangun benteng di Sunda Kalapa. Armada ini digempur oleh Fatahillah kira-kira pada pertengahan Maret 1527.

Dengan tercapainya kemenangan itu, maka setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdasarkan penanggalan pranatamangsa (penanggalan yang hidup dikalangan rakyat dan berhubungan dengan pertanian), Fatahillah mungkin sekali memilih tanggal 1 prantamangsa sebagai hari untuk mengganti nama Sunda Kalapa dengan nama Jayakarta. Tanggal 1 pranatamangsa tersebut menurut penanggalan Masehi jatuh pada 22 Juni 1527. Seperti yang sudah dikemukakan diatas, arti Jayakarta adalah kemenangan penuh Fatahillah terhadap orang-orang Portugis, musuh yang sangat dibenci oleh orang Islam pada masa itu.

Sanggahan terhadap pendapat Dr. Soekanto dikemukakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat. Menurutnya, berdasarkan sumber dari penulis sejarah bangsa Eropa, armada Fransisco de Sa berangkat dari Malaka menuju Sunda Kalapa pada 23 Oktober 1526. Pada Desember 1526 ketika perayaan Natal di Cochhij (India), diperoleh kabar bahwa rombongan itu telah kembali pada akhir Desember 1526, Fransisco de Sa bertolak ke India.

Berdasarkan hal tersebut, Prof. Hoesein Djadiningrat berpendapat jatuhnya Sunda Kalapa terjadi pada Desember 1526. Jika jatuhnya Sunda Kalapa ke tangan Fatahillah bertepatan dengan hari raya atau hari peringatan Islam, maka dapat diduga bahwa hari raya Islam yang paling dekat di akhir Desember 1526 adalah Hari Maulud 12 Rabiulawal 933 Hijriah yang jatuh pada senin, 17 Desember 1526.

Besar kemungkinan Fatahillah merenungkan kemenangannya, ia teringat kepada kemenangan Muhammad yang terpenting, yaitu merebut Kota Makkah dan teringat pula kepada ayat pertama dari surat Al-Fath yang berbunyi "Inna Fatahna laka Fathan Mubinan" (sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas).

Oleh Karena itu, fatahillah lalu mendapat ilham untuk menamai dirinya fathan (nama ini kemudian karenan salah dengar dan salah tulis, dijadikan falatehan oleh orang Portugis), sedangkan nama Sunda Kalapa lalu diganti dengan terjemahan kata Fathan mubinan yaitu, Jayakarta. Demikian dua pendapat mengenai penamaan dan penanggalan digantinya nama Sunda kalapa menjadi Jayakarta.


Batavia 
Nama Jayakarta yang mengandung arti kejayaan dan kesejahteraan itu rupanya tidak memberi kenyataan seperti ketika Sunda Kalapa terkenal sebagai kota Pelabuhan yang ramai disinggahi kapa-kapal niaga, baik antarpulau maupun Internasional. Setelah dinamai Jayakarta justru pamornya semakin lama semakin kalah dengan Pelabuhan Banten.

Selama puluhan tahun pelabuhan Jayakarta lebih banyak dikenal sebagai pelabuhan nelayan dan jarang sekali disinggahi kapal niaga. Padahal beberapa komoditasnya, seperti beras, sayur mayur, buah-buahan, dan hewan ternak melimpah, harga murah, sebagaimana diberitakan oelh Jan Huygen van Linscehoten[1 ] dalam Itinerario.

Jayakarta adalah bagian wilayah Kesultanan Banten. Sultan Maulana Hasanuddin menganggkat menantunya, Tubagus Angke, sebagai penguasa Jayakarta. Pada 1601, Tubagus Angke wafat. Jabatannya sebagai penguasa Jayakarta diteruskan oleh putranya, Pangeran Jayakarta Wijayakrama yang lebih dikenal sebagai Pangeran Jayakarta atau Pangeran Jakarta.

Sebagaki kepala daerah yang berjiawa muda, Pangeran Jayakarta Wijayakrama jauh lebih berani mengambil keputusan dan tindakan dibandingkan dengan ayahnya untuk kemajuan Jayakarta. Dia berani membuat persetujuan dengan persukuan dagang asing. Mula-mula dengan orang-orang Inggris, kemudian dengan orang-orang Belanda.

Ceritanya selanjutnya adalah jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC dan namaya kemudian diganti menjadi Batavia. Nama-nama tempat dan jalan yang diberikan akan ditetapkan pada zaman kolonial, dari masa pemerintahan VOC sampai masa awal pemerintahan kolonial Hindia Belanda, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, nama-nama tempat dan jalan yang berasal dari bahsa Belanda, seperti Batavia sebagai nama kota dan Oranje Boulevaard (sekarang jalan Dipenegoro) sebagai nama jalan. Kedua, nama-nama tempat yang berasal dari bahasa Pribumi, contohnya Cililitan, Marunda, dan Menteng.


Jakarta
 Pada masa pendudukan tentara Jepang, nama Jakarta dihidupkan kembali. Hal itu diumumkan dan Kang Po (Berita pemerintah bala tentara Jepang) No. 9 thn. I bulan 12 tanggal 8 Desember 1942 untuk waktu yang tidak terbatas.






















Sumber:
[1] Jan Huygen van Linschehoten adalah pelau Belanda pertama yang mengetahui rahasia rute pelayaran orang-orang Portugis ke Asia Timur (diketik dari buku "ASAL USUL NAMA TEMPAT di JAKARTA dengan penulis Rachmat Ruchiat")



m
Klik Iklannya dun...